Oleh : Ulfiah (pegiat literasi)
Baru-baru ini kasus korupsi kembali ditemukan, baik pejabat, anggota Dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Salah satunya yang dilakukan oleh bupati kapuas, bersama istrinya dengan modus memotong anggaran daerah senilai, 8,7 M. Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman sendiri menilai aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, kalimantan tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat bukan lah modus baru. Zaenur menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya. Zaenur juga menambahkan, modus korupsi yang paling sering dilakukan pejabat adalah penjualan perizinan, menerima suap atau gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan pegawai daerah hingga korupsi anggaran. Tirto. Id. (29/03/2023).
Sementara itu, disaat yang sama juga ramai pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana, yang hingga kini belum ada kejelasan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset masih menunggu surat presiden (surpres). Setelah presiden keluarkan surpres, draf RUU tersebut akan segera dikirimkan ke DPR. Edward mengungkapkan sejumlah poin yang diatur di dalam RUU Perampasa Aset. Salah satunya soal pengaturan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Republika Co. Id (10/03/2023).
korupsi merupakan sesuatu yang sangat sulit diberantas. Karenanya, pemerintah dan aparat penegak hukum membutuhkan alat lain untuk pemberantasannya. Salah satunya dengan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Harapannya, RUU tersebut diprioritaskan Komisi III DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menurut mahfud sendiri RUU Perampasan Aset dapat menjadi alat untuk menghukum pelaku koruptor dan tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, tujuannya agar adanya alat jera bagi pelaku tindak pidana tersebut. Republika co. Id (29/03/2023)
Namun, Melihat gurita kasus korupsi, dan kuatnya kasus sekularisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan apakah pengesahan RUU perampasan aset mampu mencegah korupsi?
Dalam sistem kapitalisme kasus seperti korupsi adalah hal yang lumrah, dimana, masyarakat kelas menengah hingga atas, bahkan pejabat kelas kakap, hidup dalam atmosfer materialistis. Maka tidak heran kasus tersebut sudah seringkali terjadi. Pada saat yang sama pula, adanya kebijakan tentang UU perampasan aset, yang dimana melalui UU Perampasan Aset ini , disatu sisi dijaga kepentingan hak-hak masyarakat, namun, di sisi lain kita turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset masyarakat, yang justru akan ada pihak yang dirugikan, bahkan tidak menutup kemungkinan semakin leluasanya para pelaku korupsi.
RUU perampasan aset bukan lah solusi yang komprehensif untuk pencegahan korupsi, dimana rakyat memberikan kewenangan penuh kepada negara untuk merampas aset rakyatnya dengan RUU tersebut, bahkan tidak menutup kemungkinan lahir masalah baru, yang justru tidak akan mampu mensejahterakan rakyat. Ditambah lagi, sistem kapitalisme yang asasnya, menjadikan orang berwatak materialistik, mengambil gaya hedonis, minim keatatan kepada Allah SWT, maka tidak heran jika kasus korupsi akan terus ada.
Belum lagi, sistem politik Demokrasi meniscayakan aturan dibuat manusia, yang serba terbatas dan syarat akan kepentingan, aturan hukum akan memihak siapapun yang menguntungkan, tidak ada sangsi tegas dan menjerat para pelaku, maka akan semakin menyuburkan tindak korupsi. Problem korupsi adalah problem sistemik dan cacat bawaan demokrasi/ kapitalis. Karena itu korupsi tidak akan diberantas dengan tuntas, meski ada lembaga anti korupsi, disahkan RUU Perampasan aset, atau akan dibuat konsep peradilan besar.
Inilah akibat dari sistem yang diterapkan saat ini yaitu kapitalisme sekuler, menjadikan manfaat atau keuntungan sebagai prioritas utama, maka hal lumrah kasus korupsi seringkali terjadi. Ditambah lagi, Pemerintah nampak tidak mampu memberikan solusi komprehensif yang mampu menyejahterakan masyarakat secara menyeluruh. Kebijakan yang dipandang akan menurunkan korupsi, karena hak-hak masyarakat akan dijaga. Namun, nyatanya justru merugikan masyarakat banyak. Sebab, kebijakan tersebut tidak menyentuh akar permasalahan.
Berbeda dengan sistem Islam, dimana pemimpin dalam Islam tidak lain sebagai pengatur hajat hidup dan segala urusan rakyatnya. Yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. Juga memandang korupsi sebagai satu kemaksiatan dan jabatan sebagai satu amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di akhirat. Sehingga, untuk mencegah tindak korupsi, Islam mewajibkan negara untuk membina ketakwaan rakyatnya, dengan menanamkan aqidah islam pada diri setiap individu rakyat, akidah islam akan melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia akan diawasi oleh Allah, maka, dari sini akan lahir kontrol dan pengawasan internal, yang akan mencegah sedini mungkin tindak korupsi. Serta mendorong masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar.
islam juga, memberikan sangsi yang tegas tegas kepada para pelaku korupsi, hukum sangsi ini berfungsi untuk mencegah (zawajir) berupa hukuman. seperti, pewartaan, penyitaan harta, hukuman kurungan, atau hukuman mati, hukum sangsi dalam islam juga berfungsi sebagai (zawabir) atau penebus dosa.
Selain itu, negara juga akan menerapkan berbagai aturan secara komprehensif sehingga mampu menutup setiap celah yang mengantarkan terjadinya korupsi. Yakni dengan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam seluruh bidang kehidupan. Dan Sudah menjadi tanggung jawab negara sebagai pengatur urusan masyarakat agar hidup sejahtera. Namun, tanggung jawab ini hanya akan bisa terwujud sempurna ketika kembali berhukum kepada aturan-Nya.
Wallahu A’lam..