sorotcelebes.com | POLMAN — Keberagaman suku dan budaya di Indonesia telah memunculkan beraneka produk kebudayaan, salah satunya adalah wastra.
wastra secara etimologis dimaknai sebagai sehelai kain dengan corak khusus yang dibubuhkan di atasnya dan memiliki makna tertentu.
Dalam sehelai wastra terdapat simbol-simbol sebagai bentuk berkomunikasi yang diekspresikan melalui cara berpakaian.
Untuk menciptakan wastra, masyarakat memiliki beragam tekhnik salah satunya tenun, yakni cara membuat kain dengan menggabungkan benang secara memanjang dan melintang.
Kain tenun biasanya terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya.
Salah satu produk tenun berbenang sutra adalah sarung sutra asal Suku Mandar yang mendiami wilayah Kabupaten Polewali Mandar (Polman) di Provinsi Sulawesi Barat.
Diketahui, Tenun sarung sutra Mandar telah diproduksi sejak abad ke-16 serta dikenal memiliki kualitas halus dan tidak mudah luntur, juga dikenal dengan sebutan lipa saqbe Mandar.
Desa Renggeang dikenal sebagai penghasil bahan baku pembuatan Lipa Saqbe Mandar. Namun usaha budidaya ulat sutera mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pakan untuk ulat sutera.
Ulat sutera (Bombyx sp.) menghasilkan produk berupa pupa (kokon) yang jika dipintal dapat digunakan sebagai benang untuk membuat kain sutera.
Untuk bisa menghasilkan produk tersebut ulat sutera harus diberi makan daun murbei, sementara jumlah daun menurun jika memasuki musim kemarau.
Menyikapi hal itu, Prodi Pendidikan Biologi Unsulbar melalui program penelitian dan pengabdian masyarakat memberikan solusi pakan alternative guna mempertahankan kelangsungan usaha budidaya ulat sutera. Pakan yang ditawarkan adalah mencampurkan daun murbei dengan pakan ayam broiler.
“Kami sudah melalukan penelitian selama 21 hari menggunakan lima perlakuan. Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran tubuh ulat sutera paling besar ditunjukkan oleh perlakuan ulat sutera yang diberi makan daun murbei dicampur dengan pakan ayam broiler yaitu ±5.25 cm. Ukuran ini tidak jauh berbeda dengan kontrol yaitu ulat sutera yang hanya diberi makan daun murbei yaitu ±4.85cm,” terang Phika Ainnadya Hasan yang merupakan moderator kegiatan. Selasa (27/06/2023)
Lanjutnya, Ukuran yang besar akan menghasilkan benang yang lebih tebal. Namun hal ini masih dalam pengamatan. Sebab ulat yang diamati belum selesai proses mengokonnya.
Kegiatan ini diharapkan menjadikan Desa Renggeang sebagai penghasil benang sutera di Sulawesi Barat.
Kegiatan yang berlangsung di kantor desa Renggeang ini mendapatkan respon positif dari mahasyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya peserta yang hadir, serta tanggapan yang diberikan oleh ketua karang taruna desa Renggeang.
Sebanyak 50 orang peserta mengahdiri kegiatan ini terdiri dari ketua karang taruna desa Renggeang, masyarakat biasa dan masyarakat pembudidaya ulat sutera desa Renggeang.
Turut hadir 4 orang dosen prodi pendidikan biologi. Ketua tim : Sari Rahayu Rahman, S.Pd., M.Pd dan 3 orang mahasiswa prodi pendidikan biologi.