sorotcelebes.com | POLMAN — Tragedi malam Minggu itu belum juga menemukan ujung. Sepekan menjadi sebulan, dan kini genap hampir lima pekan sejak dentuman keras memecah keheningan di Desa Lagi-Agi, Kecamatan Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Tapi suara keadilan bagi Husain, pria 35 tahun yang tewas dengan luka tembak di kepala belum juga terdengar.
Kasus yang awalnya digadang akan segera terungkap, kini justru menyeret institusi kepolisian ke pusaran sorotan publik. Desakan agar Kapolda Sulawesi Barat mencopot Kapolres Polman mengemuka, mengalir dari mulut para tokoh masyarakat hingga ke lini-lini media sosial. Mereka satu suara: Kapolres dianggap gagal mengusut kasus ini secara profesional.
“Sudah lebih dari sebulan, tidak ada perkembangan signifikan. Ini kegagalan,” kata Syamsuddin, salah satu pemuda asal Balanipa, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Ia termasuk yang paling vokal menyuarakan kekecewaan atas kinerja penyidik Polres.
Husain yang merupakan ayah dua anak dan warga Desa Pambusuang itu ditemukan bersimbah darah di dalam mobil. Kepalanya tertembus peluru, malam itu, Minggu 20 September 2025. Di tengah keheningan desa, suara tembakan mengguncang. Malam itu menjadi saksi bisu atas nyawa yang melayang tanpa perlawanan, dan hingga kini tanpa kejelasan.
Aparat menyatakan telah mengamankan selongsong peluru, proyektil hasil autopsi, dan memeriksa sejumlah saksi. Bahkan hasil uji balistik menunjukkan peluru berasal dari senjata rakitan. Namun, alih-alih mempersempit identitas pelaku, temuan itu justru memperluas spekulasi. Polisi belum mempublikasikan satu pun tersangka.
“Kami hanya ingin kejelasan. Jangan biarkan ini jadi cerita yang digantung,” kata Rasniati, keluarga korban, yang kembali mendatangi Mapolres Polman pada 29 September lalu. Ditemani kerabat dan tokoh adat, ia menuntut transparansi yang hingga kini masih jadi barang mahal di mata keluarga korban.
Ketertutupan penyidikan ini membuka ruang bagi ketidakpercayaan. “Kalau tidak bisa ungkap, kenapa tidak serahkan ke Polda atau bentuk tim khusus?” tanya seorang tokoh adat Balanipa yang enggan disebutkan namanya.
Tak hanya keluarga dan tokoh masyarakat, mahasiswa pun bersiap turun ke jalan. Aksi damai sedang digalang, menuntut kejelasan hukum dan pertanggungjawaban moral dari aparat.
“Jika tak ada hasil, jabatan Kapolres harus dievaluasi,” ujar Syamsuddin lagi.
Bagi banyak warga, ini bukan semata kasus kriminal. Penembakan Husain berubah menjadi cermin retaknya kepercayaan terhadap sistem penegakan hukum. Terlebih ketika aparat yang seharusnya menjadi pengayom justru gagal menjawab keresahan publik.
Dalam dokumen Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 disebutkan bahwa penyidik wajib menjunjung asas profesional, transparan, dan akuntabel dalam menangani perkara. Namun, prinsip itu seolah jauh dari wajah penanganan kasus Husain.
Kini, bola panas berada di tangan Kapolda Sulawesi Barat. Menunggu terlalu lama bisa menggerus legitimasi. Bertindak terlalu pelan bisa mengundang kemarahan lebih luas. Pilihannya jelas, bersikap tegas dengan menurunkan tim penyidik independen atau mencopot Kapolres yang dinilai gagal membawa hasil.
“Kapolda harus bergerak. Ini soal nyawa, bukan sekadar statistik kriminalitas,” katanya.
Kasus penembakan Husain telah menjadi lebih dari sekadar perkara pembunuhan. Ia menjelma menjadi simbol, tentang suara rakyat kecil yang tertembus peluru, dan perjuangan keluarga korban melawan sistem yang lamban, dingin, dan berjarak.
Selagi pelaku belum diungkap, dan keadilan belum ditegakkan, suara-suara dari Pambusuang akan terus menggema. Tidak untuk membalas, tapi untuk mengingatkan bahwa keadilan tak boleh mati bersama korban.