sorotcelebes.com | MAJENE — Geliat pembangunan sering digaungkan dengan julukan investasi, namun dalam proses perjalanannya ada suara – suara lirih perlahan dicekik. Suara itu, datang dari mereka terpinggirkan ditanahnya sendiri.
Fakta inilah yang terjadi di Banua Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene Sulbar semenjak hadir aktivitas tambang galian C dipromotori PT. Cadas Industri Azelia Mekar.
Meski kemudian, masyarakat sekitar khususnya Kelurahan Lalampanua kian merasakan dampak dari aktivitas tambang tersebut, Kamis 17 April 2025.
PT. Cadas terkonfirmasi mengantongi Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (SK IUP) bernomor 0506230044866002 bukan merupakan jaminan dapat menjaga ekosistem disekelilingnya dan masyarakat tak menimbulkan hal negatif.
Tapi faktanya, lahan perkebunan, tambak lingkungan hidup disekitar lokasi menjadi korban kerusakan. Padahal, sejak dulu masyarakat Lalampanua hidup berdampingan dengan alam.
Selain itu, mereka diwariskan secara turun – temurun seperti, pisang, kelapa dan hasil laut menjadi sumber utama penghidupan mereka. Namun, semua lambat laun hanya akan menjadi cerita lantaran aktivitas tambang PT. Cadas telah merusak ekosistem diwilayah mereka.
Menurutnya, dampak kerusakan ditimbulkan semenjak aktivitas tambang berlangsung diantaranya, debit air mengalir di tambak masyarakat mulai tercemar lumpur dan material tambang. Air dulunya jernih kini keruh memicu hasil tambak menurun drastis, tambak udang dan ikan pun tak lagi produktif.
Tak cuman itu, hasil panen perkebunan pun menurun akibat debu dan limbah tambang terbawa angin dan air.
“Sejak ada tambang, air tambak kami jadi kotor. Udang banyak yang mati dan hasil kualitas ikan pun tak seperti dulu,” ungkap masyarakat lalampanua enggan disebutkan namanya.
Fakta lainnya, lahan – lahan produktif dulunya menjadi kebun kelapa, pisang, kakao dan berbagai tanaman pangan kini rusak dilindas alat beras milik pertambangan dan pembangunan jalan jetty. Tanah dulunya subur telah bercampur pasir dan lumpur sampai tak layak ditanami lagi.
Lebih jauh, PT. Cadas rupanya juga akan membuka jalur untuk pembangun jembatan jetty, sebuah fasilitas nantinya akan mengangkut hasil tambang ke kapal laut ditengarai tanpa sepengetahuan pemerintah setempat. Baik pihak Kelurahan Lalampanua maupun Kecamatan Pamboang.
Pembangunan Jetty tersebut melintasi kawasan tambak masyarakat. Proses pembukaan jalan sebabkan abrasi kecil, pergeseran tanah hingga rusaknya sistem irigasi tradisional milik masyarakat.
Sehingga berdampak pada tambak – tambak menjadi tidak berfungsi secara normal. Lebih buruknya, masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Sesuai hasil pantauan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulbar dan menemui beberapa pihak dirinya temui di instansi terkait mengaku tidak mengetahui pembangunan jetty memiliki izin atau tidak.
Menurut Awi, tidak ada kejelasan mengenai dokumen izin lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) ataupun rekomendasi teknis dari instansi terkait.
Masalah kian serius ketika bicara soal legalitas. Memang benar, PT. Cadas memiliki SK IUP resmi. Tapi izin formal tidak serta merta membenarkan aktivitas memicu kerusakan ruang hidup masyarakat dan lingkungan.
“Dalam kasus ini, hukum dan kebijakan penting hadir melindungi rakyat. Bukan untuk menjadi alat legitimasi perusakan,” ungkap Direktur WALHI Sulbar.
Asnawi kerap dipanggil Awi Mendes menjelaskan, berbagai kasus di Indonesia secara lokal di Sulawesi Barat (Sulbar) sering kali izin tambang dikekuarkan tanpa pertimbangan matang soal dampak ekologis dan sosialnya.
Seolah surat izin menjadi tiket bebas untuk mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara brutal. Sedangkan, aktivitas tambang wajib melalui proses kajian lingkungan ketat, konsultasi publik sampai persetujuan masyarakat setempat.
Kasus di Banua Adolang ini, justru fakta dilapangan menunjukkan ketimpangan besar antara apa ditulis diatas kertas dan realita dihadapi rakyat.
“Tidak ada sosialisasi, pemberitahuan dan pelibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan,” ujar Direktur WALHI Sulbar.
Ia tegaskan, melihat berbagai dampak buruk ditimbulkan, Wahana Lingkungan Hidup (Indonesia) Sulbar menolak keberlanjutan aktivitas tambang.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera mencabut izin telah diberikan kepada PT. Cadas Industri Azelia Mekar. Bukan tanpa alasan, sebab kerusakan terjadi sudah nyata didepan mata,” tegasnya.
Ia menjelaskan, aktivitas tambang bukan hanya berdampak buruk pada lingkungan. Tapi juga secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat Lalampanua.
“Jika dibiarkan, maka kerugian jangka panjang akan jauh lebih besar ketimbang manfaat sesaat diterima oleh segelintir pihak,” jelasnya.
Termasuk, pembangunan jembatan jetty dilakukan secara sepihak untuk dihentikan sebelum ada kepastian izin dan kajian dampak lingkungan secara transparan, partisipatif dan ramah lingkungan.
Lanjutnya, pembangunan tanpa izin dan sosialisasi adalah pelanggaran serius terhadap hak masyarakat atas informasi, partisipatif dan lingkungan hidup yang sehat.
“Kasus di Lalampanua justru sebagai potret kecil dari banyaknya ketidakadilan ekologis yang terjadi negeri ini. Pembangunan selalu berpihak kepada pemilik modal, sedangkan rakyat hanya menjadi penonton dan bahkan menjadi korban ditanahnya sendiri,” lanjutnya.
Jangan sampai, demi investasi jangka pendek, kita korbankan keseimbangan ekologis dan kedaulatan rakyat. WALHI Sulbar bersama masyarakat Lalampanua tidak meminta belas kasihan.
“Kami menuntut keadilan. Keadilan atas hak hidup layak, ruang hidup lestari dan proses pembangunan berpihak pada rakyat,” terangnya.
Kami menuntut aktivitas tambang di Banua Adolang dihentikan, izin pertambangan dicabut dan pemerintah diminta segera turun untuk melakukan audit lingkungan secara terbuka serta hasil audit nantinya diumumkan ke publik.