OPINI  

Majene Kota Pendidikan: Antara Kebanggaan dan Tantangan Kebudayaan

Oleh: Muhammad Irfan Ulman

sorotcelebes.com | MAJENE — Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, hari yang sarat makna, terutama bagi kota seperti Majene yang menyandang gelar Kota Pendidikan.

Gelar ini bukan isapan jempol. Majene telah lama menjadi pusat pertumbuhan lembaga pendidikan di kawasan Sulawesi Barat, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tapi di balik geliat pendidikan yang terus berkembang, kita juga harus berani mengajukan pertanyaan kritis, apakah pendidikan di Majene sedang membentuk manusia yang berpengetahuan sekaligus berbudaya, ataukah hanya menghasilkan lulusan yang tercerabut dari akarnya?.

Ada jarak yang makin melebar antara kemajuan pendidikan dan kelestarian budaya lokal khususnya bahasa Mandar. Bahasa ibu ini, yang dahulu menjadi sarana komunikasi utama di rumah, di pasar, bahkan di pesantren dan sekolah, kini makin jarang terdengar di kalangan generasi muda.

Di banyak keluarga muda, bahasa Mandar tidak lagi menjadi bahasa pengantar sehari-hari. Anak-anak tumbuh besar dengan bahasa Indonesia, dan bahkan bahasa asing, sementara kemampuan mereka berbahasa Mandar terbatas, atau bahkan nyaris tidak ada.

Baca Juga  Kemiskinan membuat Stunting makin genting

Fenomena ini bukan sekadar perubahan bahasa, tapi merupakan gejala sosial dari pergeseran nilai dan identitas. Dalam kacamata Sosiologi, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga pembawa nilai, penanda identitas, dan jembatan ingatan kolektif. Ketika sebuah bahasa lokal perlahan ditinggalkan, yang tergerus bukan cuma kosakata, melainkan juga cara pandang dan cara hidup masyarakat.

Sekolah, Peluang atau Ancaman Budaya

Ironisnya, institusi Pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga utama nilai dan identitas sering kali justru menjadi salah satu penyebab makin menyempitnya ruang hidup budaya lokal.

Kurikulum yang terlalu terpusat dan seragam secara nasional membuat bahasa dan sejarah lokal hanya jadi pelengkap, bahkan nyaris absen. Bahasa pengantar di sekolah hampir sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, dan dalam banyak kasus, Bahasa Inggris lebih diutamakan dibanding bahasa daerah. Guru-guru muda yang besar di lingkungan perkotaan pun banyak yang tidak lagi fasih berbahasa Mandar.

Baca Juga  Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat

Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar, apakah predikat Kota Pendidikan masih relevan jika pendidikan yang berjalan justru mengikis identitas lokal?, Kita tentu tidak menolak kemajuan, tapi jika kemajuan itu datang dengan harga hilangnya warisan budaya, maka kita harus bertanya ulang, siapa yang sesungguhnya kita didik.

Pendidikan Harus Membudayakan

Pendidikan yang ideal bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga membudayakan. Pendidikan seharusnya tidak menjauhkan peserta didik dari tanah tempat ia berpijak. Di Majene, pendidikan seharusnya mampu menjadikan bahasa dan budaya Mandar sebagai bagian aktif dari proses belajar. Bukan hanya lewat muatan lokal simbolik, tapi benar-benar masuk ke dalam ruang-ruang formal. Pengajaran, kegiatan ekstrakurikuler, bahkan komunikasi di dalam kelas.

Majene seharusnya bisa menjadi contoh kota yang mengintegrasikan kemajuan pendidikan dengan pelestarian budaya. Kita bisa membayangkan sekolah yang tidak hanya meluluskan siswa dengan nilai UN tinggi, tetapi juga siswa yang bisa berbicara dalam bahasa Mandar, memahami sejarah kerajaannya sendiri, dan mencintai laut serta tanah Mandar sebagai bagian dari identitasnya.

Baca Juga  Catatan Anno AS: Studi Karya Inovasi

Tentu, untuk menuju ke sana dibutuhkan kemauan politik dan kesadaran kultural. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, tokoh masyarakat, dan kampus harus duduk bersama dan menjadikan revitalisasi budaya lokal sebagai bagian dari strategi pendidikan jangka panjang.

Saatnya Kita Jujur

Hari Pendidikan Nasional bukan hanya waktu untuk mengucap selamat, tapi saat yang tepat untuk bertanya dengan jujur, pendidikan seperti apa yang sedang kita bangun?, apakah kita mencetak generasi yang hebat di atas kertas tapi asing terhadap budayanya sendiri?, apakah kita ingin membangun kota modern yang cerdas tapi kehilangan ingatan kolektif?.

Kalau jawabannya membuat kita gelisah, maka itu tanda baik, berarti kita masih peduli. Dan kepedulian itu harus segera dijadikan gerakan pendidikan yang membumi, yang tidak hanya bicara tentang dunia kerja, tapi juga tentang akar dan arah. Karena tanpa budaya, pendidikan kehilangan jiwa. Dan tanpa jiwa, Majene akan menjadi Kota Pendidikan yang hampa makna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *